Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Mencintaimu

: kunthi hastorini Aku hikmati hidup ini, dengan mencintaimu setulus hati, ungkapan syukur tiada henti  Aku hikmati hidup ini, sepenuh khidmat, usia demi usia semoga tak tersia, mencinta karena Maha Cinta Karena mencintaimu adalah ibadah hidupku, mensyukuri sebuah karunia  Di dalam Cinta, kita berdoa Malang, 7 Juli 2011

Di Pagi Hari

Kabut menyapa jalan-jalan. Kabut masih menunggu cahaya, yang akan menjemput. Bersama senyum matahari. Di gigil udara, puisi mendaras embun ingatan, hingga cahaya menghangatkannya Bulan di puncak bukit. Perlahan sembunyi. Ucapkan selamat pagi kepada matahari  Jalan-jalan masih menyisakan cahaya lampu, yang tak tertidur sepanjang malam. Selamat pagi. Tidurlah segera, kata matahari  Malang, 15 Agustus 2011

Huruf yang Letih dan Kesunyian Penyair

menatap huruf huruf yang letih, biarlah tertidur dalam istirah, biar lelah lebur dalam sunyi yang mendalam para penyair berumah di dalam puisi, berdiam dalam sunyi di dalam sunyi penyair membaca makna rahasia diri di dalam sunyi penyair menghikmati cinta menghidmati rindu, keabadian dan kebenaran sejati Malang, 16 Agustus 2011

Sajak Yang Bersyukur dan Merdeka

Sajakku pagi ini adalah sajak yang tak henti berucap terima kasih, rasa syukur tak terhingga, sebuah doa  Kita menunggu secercah fajar, harap yang lahir senantiasa, di penghujung malam, kita berdoa: bahagia untuk semua  Kita terus berdoa, berterima kasih, karena kita tetap manusia, yang punya harap dan cinta  Adalah gema, dalam dada, ucapkan cinta, kepada kehidupan, o manusia merdeka! Malang, 17 Agustus 2011

Tiba-Tiba Aku Teringat Malna

tiba-tiba aku teringat malna. apa kabar malna? aku menggali kedalaman airmata dan menemukan orang-orang menangis: dimana diri sendiri? hidup berputar dari huruf ke huruf, sesempit ruang tamu, ruang tidur dan kamar mandi. apakah kamu sudah mandi? memadamkan kepala dan bantal yang berasap aku telah bertemu acep syahril, dia bilang malna ingin menulis di luar puisi. jangan menangis, seperti puisi yang tak bersedih. memang udara memar bermainlah dengan jilan. batu-batu akan pindah ke halaman. sapi-sapi tak akan lagi melenguh mengeluhkan paru-paru penuh batu nomer telponmu hilang. hapeku rusak terbanting. aku tak bisa kirim sms ucapkan selamat lebaran. bulan ditebak di langit hitam apa yang kau lihat di malam lebaran malna? apakah seperti sitor melihat bulan di atas kuburan. serupa tanda. puisi yang meremang. isyarat ah bulan, bulan yang samakah tertusuk ilalang? mungkin kau ingat garin dan zawawi. atau sapardi? di restoran itu, aku lihat kau kenakan kalung pemberian teman. bukan ole

Kita adalah jiwa yang saling menyempurnakan

Kita adalah jiwa yang saling menyempurnakan. Aku separuh jiwamu. Kau separuh jiwaku. Kita adalah jiwa yang utuh. Setubuh Kita belajar untuk tabah, pada mata kanak yang menatap kita penuh harap: cinta yang tulus, setulus mata itu, bercahaya Kita lewati peristiwa demi peristiwa, peta nasib yang digambari langkah kaki: cinta yang tabah dan sabar Kita sandarkan angan dan ingin tidak pada angin, dengan jejemari kita susun bata demi bata kebahagiaan, di rumah cinta  Kita berdekapan, cintaku dan cintamu menyatu di dalam cinta-Nya yang satu  Malang, 27 Agustus 2011

sungguh darimu cinta berasal, kepadamu cinta akan kembali

aku terima cintamu seikhlas hatiku, sungguh engkau maha pendengar segala keluh segala adalah milikmu, segala adalah cintamu, aku berada di dalam rengkuhmu jika rinduku adalah rindu yang dusta, jika cintaku adalah cinta yang dusta, tapi mengapa debar di jantungku selalu menyebut namamu? jika mencintaimu adalah ujian, beri aku kesempatan lulus mencintaimu jika hatiku terus bergalau, adalah ruhmu dalam diriku yang terus menyeru, merindurindu cintamu sungguh aku teramat lelah, beri diri ketulusan berserah, di dalam pelukmu aku istirah cintaku teramat rumit, menerjemah cintamu yang sederhana akulah debu, dan engkau keluasan tak terhingga, aku debu yang tak sanggup menerka rahasia cintamu berulangkali aku meruntuh, tapi cintamu tetap utuh aku galau yang meriuh, dan engkau keheningan yang menerima segala aduh suara suara yang diterbangkan angin, menggema di relung-relung, suara suara yang memanggilimu, rindu doa-doa yang memenuhi langit bumi, entah berbisik entah memekik, ingin meny

Kepada Tuan Sapardi

Kanak kanak yang melipat kertas itu, kini menemuimu tuan, mencari perahunya yang terdampar di bukit, mimpimu saat itu        Hujan yang turun di bulan itu tuan, kabarkan pohon tak lagi tabah, menunggu kemarau yang tak menepati janjinya sendiri    Kanak yang membayangkan rumahmu, melukis dengan cat air: tiang listrik yang marah pada angin, "Jangan ganggu mimpi anak itu" Siapakah kanak kanak yang membayangkan hidup demikian keras, mungkin engkau yang menggambar demikian tergesa, di dalam mimpimu malam ini Malang, 2011

MALAM MENYIMPAN AIRMATA

malam menyimpan airmata, dan mengembunkannya di pelupuk mata, matamu. serupa sajak, yang menerima kesah, tanpa menggerutu.   malam telah menegaskan kelamnya, kita menggambarnya dengan cahaya, lampu lampu berkedipan, berpendar di kejauhan   peluk aku, sebelum waktu berlalu beku, sebelum padam segala damba. peluk aku!   kita menuai ingatan ingatan, yang berlepasan, semacam rasa bahagia yang diputar kembali, dalam benak yang menyimpan senyuman   ada suara bergema dari masa lalu, denting piano, getar senar gitar, sajak-sajak yang menyimpan pedih, sejarah airmata   ada yang mengulang ulang kabar, mengeja airmata, karena cuma itu yang tersisa, mengingat jejak yang kian pudar      apa yang terlukis, mungkin gelisah waktu, detak jam dalam jantungmu, menyerunyeru      kita mengeja isyarat tanda, jejak pada sajak, mimpi di dalam puisi, wajahmu wajahku pulalah tercermin di sana      pada gigil udara kita mengeja isyarat semesta, yang mengada dan meniada, hanya satu adanya      Malang, 2011

HURUF-HURUF MENGGELETAR

langit yang lengang, udara panas, tapi aku menggigil dalam sajakku sendiri. huruf-huruf meminta dituliskan dalam darah. dalam derita airmata huruf-huruf menggeletar menggelepar memburu jawabku: "cintamu palsu, nafsu birahi melulu! apakah kau dengar jerit pilu di lapangan eksekusi? "masihkah engkau ingin menulis sajak cinta, saat keadilan teraniaya?" demikian sebuah suara. dan aku tergagap gila.   ya, kita terlalu banyak berbicara, memperdebatkan yang hanya bisa dirasakan, di dalam dada kita sendiri.   ada apa di luar sana, masihkah cinta diperdebatkan, udara tropis yang panas tapi aku gigil mengeja cinta yang berteka-teki   aku bayangkan ada serpihan-serpihan salju meluncur dari langit yang lengang, langit abu-abu, di saat gigil memandang jendela   Malang, 2011

KAU MERASA MENJADI SESUATU YANG TAK KAU PAHAMI

serupa gerimis, puisi menyimpan tangismu diamdiam, turun perlahan, di malam yang tak pernah kau akui mencintai sepinya sebuah sajak kau nyalakan di malam yang demikian rapuh, serapuh dadamu yang tak mampu menahan tangis kau merasa menjadi malam yang tak pernah dicintai, selain dikutuk mercusuar yang sepi, laut yang gaduh dan perahu yang kehilangan arah engkau merasa menjadi perahu kecil yang terombang ambing di laut badai di kerdip pasi cahaya mercusuar yang sepi engkau merasa menjadi badai di laut yang gaduh memecah di pantai yang jauh menghempashempas tak henti kau merasa menjadi mercusuar di laut badai, kerdip demikian sepi, di dalam deru, demikian pasi cahaya, demikian sepi Jogja, 2011

DENGAN SAJAK KUKABARKAN PUISI

Sajak adalah mata kanak kanak yang bening tak berdosa, temukan rahasia di balik teka teki waktu, sebuah kehendak    Kau tak dapat berbohong dengan sajak, karena sesungguhnya hatimu telah menera jejak Jika kabar demikian samar, sajak mengajakmu untuk menebak, teka teki kehendak Puisi telah memenuhi ruang kepalaku, riwayat riwayat yang minta dicatat, keindahan yang minta dikabarkan Dari hati kembali ke hati, dari cinta kembali ke cinta, demikian puisi akan kembali kepada puisi, di dalam diri Bukankah menginginkan rumah yang nyaman, demikian pula puisi, ingin layak diletak di rumah sajak Malang, 2011

KUCARI ENGKAU, TAPI KATAMU KAU CARI DULU DIRIMU SENDIRI

kota demi kota menyimpan jejak kakiku, kenangan demi kenangan menera peta dalam sajakku, tapi dimana diriku sendiri? dari ceruk ke ceruk, dari palung ke palung, kucaricari rahasia diri, dimana sembunyi jawab atas tanya, o dimana?   di tanur tanur rindu cintaku ditempa, hingga muai oleh api cemburu, hingga murni, cintaku padamu   berkali-kali aku gawal dalam uji, berkali-kali kau ampuni, karena cintamu kutahu, karena cintamu. memberi arti di puncak malam ada yang tugur, menunggu sunyi gugur, sebagai airmata yang bercahaya, melarutkan kesah ke lautan maha Cinta   Malang, 2011

Akulah Air

Akulah air yang mengalir dari hulu ke hilir. Mungkinkah airmatamu?   Membawa remah sampah luka manusia hingga ke muara, hingga ke lautan penampung segala kesah segala susah   Akulah air, akulah air, mengucur dari langit kenangan. Kenangmu pada airmata. Kenangmu pada cinta. Surga yang cahaya   Akulah air yang menyangga perahu perahu pengelana, dari gemericik kecil menjelma sungai sungai   membelah kotamu membawa pesan gunung kepada lautan membawa pesan mata air ke gelombang lautan   Akulah air membawa saripati pegunungan, melarutkan garam kehidupan. Bagimu. Bagimu. Kupersembahkan cinta   Akulah air. Akulah air mengalir dalam tubuhmu. Mengalir dari matamu Sebagai cinta mengalir. Sebagai rindu mengalir ke muara cintanya. Akulah air. Airmatamu!   Palembang, 2011

Melintasi Malam

pada buku berdebu, kau ingin membekukan waktu. karena secuplik ingatan, detik yang ingin terus tersimpan. serupa sajak, menyimpan jejak demikian liris, demikian lirih, bisik angin pada angan. serupa rimis, menyapa miris, menitik di puncak detak. jam menggigil di dentangnya malam kian menebal. cinta membuatnya kian bebal. dan rindu yang banal. ah, kenangan yang bengal! semakin tak kau kenal Malang, 2011

Akulah Burung yang Menyapa Setiap Pagi

sayapku terlalu mungil untuk mengepak jauh ke langit rahasiamu. hening yang asing. sunyi yang tak terkira kicauku terlalu parau terlalu sengau kabarkan cinta yang remah di tangan manusia yang saling curiga. aku mematuki rahasia  paruhku yang kecil mengetuk dinding sunyimu. rahasia kehendak. garis takdir. Cintamu yang abadi, kueja berulangkali  aku hinggap dari ranting ke ranting, menerjemah gugur daun, menerjemah geliat ulat di paruhku, menerjemah embun dicium cahaya matahari di pagi hari kau dengar kicau syairku, di halaman rumah, di pohon yang ranggas oleh kemarau, kicauku yang manis terdengar, adalah tangis  sayapku terlalu letih membentur badai tanyaku sendiri, bumi yang nelangsa, dunia yang membuatku mabuk tak berdaya Malang, 26 Juli 2011

Rindu yang Nyeri!

telah kutapaki usia tahun demi tahun kepedihan mengingat dan melupakan, kehilangan dan menemukan cintamu   di dinding jam berdetik, di dada jantung berdetak, membayang waktu yang fana, hidup yang sementara di hunus tajam runcing pedang cintaMu aku menyerah  tikamlah lagi hingga ke lubuk rahasia cintaMu hingga pecah karena diriku hanya menunggu waktu menatap wajahMu mungkin perlahan aku membunuh diri sendiri. pelan pelan kan sampai padamu. Rindu yang nyeri! pada akhirnya aku akan mati. dan segala degup akan berhenti.  Malang, 11 Juli 2011

Serupa Kabut

serupa kabut, rahasia demi rahasia, menutupi mata, siapa hendak menerka isyarat dingin menusuk sumsum tulang. o petualang sibaklah jam-jam mendetikkan jarumnya menusuk ke dada waktu. aku terhuyung bertiktak tak henti. menuju puncak. menuju puncak. ah, letihnya kalimatku telah demikian parau. membahasakan suara-suara bergalau. ini gebalau tak tentu. gebalau kacau menyamarkan pandangku. suara berdengung. mendengung. mikropon rusak. spiker sengau. penjual obat dan kursi bersitegang di balik pintu menandak mabuk di atas meja. serupa kabut. mengacau pandangku. menebal tebal di perjalanan waktu. o engkau sibakkan dengan cahaya. cahaya yang menerobos kebekuan! Malang, 12 Juli 2011